Jemparingan mataraman, merentang tradisi, membabar jatidiri
January 21, 2019
filosofi jemparingan
jemparingan
panahan tradisional
RUANG RENUNGAN
sejarah jemparingan
1 Comment
Kasultanan Mataram sebagai sebuah oase kebudayaan telah memunculkan
beragam nilai dan tradisi yang sangat beragam. Setiap sudut sejarahnya seperti
lipatan-lipatan penuh makna dan filosofi jawa yang terentang dari
waktu-kewaktu. Salahsatunya adalah dalam hal olah raga asah titis atau jemparingan atau pahanan
tradisi khas mataram.
Kegiatan Jemparingan dimasa lampau hanya boleh dilakukan oleh para ksatria mataram saja. Itupun tak sembarang ksatria, tetapi hanya para pembesar mataram dan ksatria pilihan saja.
Kegiatan adu titis dalam melontarkan anak panah oleh para pembesar dan pasukan elit mataram ini disebut gladen.biasanya gladen jemparingan dilakukan disekitaran keraton mataram.
Melemahnya pengaruh mataram setelah terhantam berbagai
permasalahan politik dan konflik para elit mataram ternyata dimanfaatkan betul
oleh pemerintah kolonial belanda untuk menguatkan posisinya diatas hegemoni
penguasa mataram.
Kegiatan fisik yang menggunakan persenjataan bernar-benar diawasi. Acara memanah atau jemparingan dan penguatan pasukanpun praktis mulai absen dari rutintas para ksatria mataram.
Kegiatan fisik yang menggunakan persenjataan bernar-benar diawasi. Acara memanah atau jemparingan dan penguatan pasukanpun praktis mulai absen dari rutintas para ksatria mataram.
Baru setelah inisiasi dari kasultanan mataram HB 1 (1755-1792) kegiatan
jemparingan mulai dihidupkan kembali. kegiatan gladen adu titis jemparingan ini
kemudian masyur dikenal dengan jemparingan gaya mataram ngayogyakarta.
Mengenal jemparingan mataraman ngayogyakarta
Peralatan dalam adu titis jemparingan ngayogyakarta adalah
busur yang bernama gandewa, jemparing atau anak panah dan target sasaran yang berbentuk
silinder sepanjang 40cm dari bahan lilitan jerami dan tatal dibungkus kain kasa
putih. target sasaran jemparingan ini disebut bandul atau bandulan.
Bagian gandewapun punya nama sendiri-sediri, yaitu
cangkolak, lar atau swiwi dan kendheng. Cangkolak adalah tempat pegangan busur, umumnya berbagan
kayu jawa beperti kayu sawo atau kayu sono keeling. Sedangkan lar adalah bilah sayap pelontar atau limb berbahan kayu petung tua. Sedangkan
tali busurnya disebut kendheng atau kentheng.
Posisi badan dalam memanah jemparingan berbeda dengan
panahan pada umumnya. Dalam jemparingan posisi memanah dengan duduk bersila. Selain
itu pakaian yang digunakan dalam jemparingan adalah pakaian jawa lengkap dengan
jarik dan penutup kepala atau udheng.
Seni mengenal diri
Salah satu filosofi jemparingan adalah bagaimana seseorang
bisa mengenali dirinya sendiri saat merentangkan gandewo dan melepaskan anak
panah kearah bandul atau sasaran.
Jemparingan tak melulu tentang seberapa banyak anak panah tepat mengenai sasaran, tetapi seberapa besar hati dan batin tertempa untuk berkonsentrasi pada sasaran. Adalah olah rasa dengan hati dari si perentang gandewo untuk mengalahkan dirinya sendiri yang akan menjadi pemenang dari jemparingan.
Seperti filosofi dari jemparingan yaitu pamanthenging gandewa pamanthenging cipto. sawiji, greget, sengguh lan ora mingkuh.
*disarikan dari berbagai sumber
Jemparingan tak melulu tentang seberapa banyak anak panah tepat mengenai sasaran, tetapi seberapa besar hati dan batin tertempa untuk berkonsentrasi pada sasaran. Adalah olah rasa dengan hati dari si perentang gandewo untuk mengalahkan dirinya sendiri yang akan menjadi pemenang dari jemparingan.
Seperti filosofi dari jemparingan yaitu pamanthenging gandewa pamanthenging cipto. sawiji, greget, sengguh lan ora mingkuh.
*disarikan dari berbagai sumber